Beranda | Artikel
Antara Tawa dan Tangis (Bag. 2)
3 hari lalu

Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara

Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan,

أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء

Allah membuat gembira dan membuat sedih, karena kebahagiaan bisa membuat tawa dan kesedihan bisa membuat tangis.[1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا

Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2]

Hanya saja, tangis tidak harus selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala COVID-19 misalnya, bukan berarti setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19.

Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya ternyata tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh canda tawa, bahkan mungkin pekerjaannya adalah membuat orang-orang tertawa. Setelah diskusi mendalam, ternyata mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih karena orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih.

Contoh lain, ada saudara kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur psikologi klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja.

Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga saudara kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, ia merasa lega karena mendapati bahwa ternyata hatinya masih hidup. Lantas, ia pun bersyukur karena masih mampu untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang akan membuahkan kebahagiaan.

Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan bahagia itu bisa didapat tergantung dari cara kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata,

ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا

Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.[3]

Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له

Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidaklah didapat, kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, ia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.[4]

Jangan bergantung pada diri sendiri

Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu bergantung pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan atau menekuni hobi untuk bersenang-senang atau beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang dokter atau obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah sebab dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki.

Lebih penting lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah sebab bahagia maupun sebab menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari berbagai masalah hidup.

Sebagian orang bergelut berbagai kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata karena mengharapkan kebaikan untuknya, ia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling paham apa saja yang bisa membuatku bahagia dan bisa meredakan kesedihanku.”

Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung bahagia hingga akhir hayat. Padahal, bahagia yang hakiki itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan cara dan hal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya,

فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)

Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membuat kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, bahkan tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya,

اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ

“… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)

يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ

Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4)

Maka, jangan bergantung pada diri sendiri. Perbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.[5]

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi berbagai masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian.

[Selesai]

***

Penulis: Reza Mahendra


Artikel asli: https://muslim.or.id/101366-antara-tawa-dan-tangis-bag-2.html